OTONOMI DAERAH
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik yang dalam pelaksanaan pemerintahannya dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupatan dan kota mempunyai pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Pembahasan materi Hakikat Otonomi Daerah menggunakan sejumlah kata kunci yang dapat mengantarkan kalian untuk lebih mengenal berbagai istilah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Agar istilah-istilah tersebut dapat kalian kuasai dengan baik, kalian dapat mempelajarinya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Republik Indonesia nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para menteri. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. DPRD adalah Badan legislatif daerah .
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana, prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung jawabkannya kepada yang menugaskan. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah Administrasi adalah wilayah kerja Gubernur selaku wakil pemerintah. Instansi Vertikal adalah perangkat departemen dan/atau lembaga pemerintah non departemen di daerah. Pejabat yang berwenang adalah pejabat pemerintah di tingkat pusat dan/atau pejabat pemerintah di daerah propinsi yang berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
MASALAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Dalam mengimplementasikan otonomi daerah, saya melihat setidaknya ada
tiga masalah yang memerlukan perhatian khusus. Masalah itu meliputi
sistem politik di tingkat regional yang belum berkembang secara efektif
dan efisien, kurangnya sosialisasi, serta sumberdaya manusia yang masih
kurang berkualitas. Sistem politik yang belum efektif-efisien di tingkat
regional dikarenakan kekaburan hubungan antara bupati dengan gubernur.
Antara pemerintah propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota, sekarang
benang merahnya tidak jelas.
Demi keutuhan NKRI, para gubernur sebagai kepanjangan tangan pemerintah
pusat seyogianya tidak dipilih, melainkan diangkat oleh presiden,
sehingga dengan sendirinya DPRD tingkat propinsi pun menurut saya tidak
perlu ada lagi. Kalau gubernur tetap dipilih dan DPRD propinsi tetap
dipertahankan, maka yang terjadi adalah dualisme kepemimpinan antara
bupati dengan gubernur, yang pada gilirannya dapat menyulitkan
keterpaduan, selain juga memboroskan uang negara.
Sebagai administratur yang bertugas dan berwewenang mengkoordinasi
jalannya pemerintahan di daerah, gubernur tidak perlu menjadi orang
politik. Kalau gubernur dan bupati sama-sama dipilih, maka masing-masing
akan merasa independen dan saling tidak terkait, padahal keduanya
sama-sama bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan dan pembangunan
di daerah. Oleh karena itu gubernur harus benar-benar diposisikan
sebagai koordinator lintas-kabupaten, dan itu hanya mungkin berjalan
efektif jika dia netral politik dan diangkat oleh presiden.
Akan halnya para bupati, sebagai ujung tombak pelaksanaan otonomi daerah
haruslah tumbuh dari masyarakat dan memiliki rasa tanggung jawab moral
bagi pembangunan daerah dan nasib rakyatnya. Mereka wajib menempatkan
diri sebagai bapak, guru, dan pelindung rakyat. Karenanya pertama-tama
harus diupayakan agar pemilihan bupati tidak seperti 'dagang sapi'.
Untuk itu idealnya bupati dipilih langsung oleh rakyat secara
demokratis, bahkan saya menganggap ini sebenarnya lebih mendesak
daripada pemilihan presiden langsung.
Kalau tidak, maka sinyalemen sementara orang bahwa para bupati dapat
menjadi raja-raja kecil yang otoriter tidaklah berlebihan, sebab potensi
kearah itu memang sangat mungkin. Hendaknya dipahami bahwa umumnya
manusia mau jadi pemimpin karena ingin dihargai rakyat; kalau dia tumbuh
dari rakyat, maka akan selalu mengusahakan yang terbaik bagi rakyat
yang dipimpinnya; dia tidak akan sampai hati berbuat apa pun yang
merugikan rakyat. Adapun menyangkut kurang handalnya sumberdaya manusia, ada beberapa
strategi yang kita implementasikan di Jambi, terutama dengan memberikan
pemahaman pada masyarakat bahwa dengan adanya otonomi berarti
kreativitas mereka sangat dibutuhkan. Untuk itu dalam konteks sumberdaya
manusia, kita di Jambi mencoba membangun semacam gerakan yang dinamakan
'sarjana entrepreneur masuk desa'; para sarjana yang berbakat bisnis
tapi tidak punya uang dan jaringan, kita turunkan ke desanya
masing-masing. Mereka tinggal di desa sebagai perpanjangan tangan dalam
menyampaikan misi, seraya mereka sendiri mencari peluang-peluang yang
bisa distimulasi menjadi basis bisnisnya, agar pada ujungnya menjadi
contoh bagi orang-orang desa.
Gagasan tersebut antara lain diinspirasi dan didasarkan pada
pertimbangan bahwa bangsa Indonesia sejak dulu sudah banyak
berimproviasi. Presiden Soekarno telah berhasil menanamkan kesadaran
berbangsa satu yang sangat tinggi, Presiden Soeharto berhasil menanamkan
kesadaran bertani untuk memenuhi kebutuhan (subsisten).
Setelah itu, sebenarnya kita berada pada tahap ketiga, yakni rakyat
mulai berpikir tidak saja memenuhi kebutuhan makan sendiri, melainkan
mulai bercocok tanam untuk dijual, dan ini berarti mengubah pola
subsisten menjadi pola industri. Pola industri itu merupakan sebuah budaya, dan sekarang ini sedang tidak
cukup berkembang, sehingga kita semua berkewajiban mendorong dan
menumbuhkannya.